kontributor: Ade Ubud – penyunting: Bekabuluh

Rajin makan sayur pasti sehat? Yakin? Kalau benihnya transgenik, pupuknya kimia, dan pestisidanya tak alami?
Bagi banyak produsen makanan pokok, sayur, dan buah-buahan, ketiga hal tadi merupakan satu paket ketika mereka ingin mendapatkan kuantitas produksi yang maksimal, bukan kualitas. Konsumen pun akhirnya hanya bisa memilih apa yang tersedia di pasaran, seolah tidak bisa menuntut para produsen makanan agar lebih bertanggung jawab. Padahal cara menghasilkan dan memproses makanan terkait dengan angka harapan hidup serta kualitas hidup manusia itu sendiri, dan hak prerogatif untuk berbelanja pun dipegang oleh konsumen.
Tak perlu sungkan untuk mengakui, rata-rata manusia semakin menurun tingkat kecerdasannya, terlepas dari jenjang pendidikan maupun status sosial. Kemampuan kita untuk bercocok tanam atau keterikatan kita dengan tanah, udara, dan air semakin lekang lewat cara-cara hidup yang baru. Mungkin, semakin lepas ikatan dari identitas masyarakat agraris, hidup terasa makin berarti. Sepertinya ini sudah menjadi pola peradaban manusia. Masa bercocok tanam menggantikan masa mengumpulkan makanan, dan masa perundagian meninggalkan masa bercocok tanam. Tren baru mengikis tren sebelumnya. Namun selama manusia punya perut, bercocok tanam secara bertanggung jawab akan terus jadi prioritas, secanggih apapun peradaban manusia kelak.
Arus peradaban sedang menyuguhkan hal-hal mengerikan. Kerusakan lingkungan hidup terjadi di mana-mana, menurunkan kualitas tanah, udara, dan air secara drastis. Praktik-praktik industri eksploitatif yang merusak lingkungan seperti pertambangan (sebagai tulang punggung industri teknologi tinggi), pertanian modern, dan perikanan skala besar turut berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan ketimpangan berbagai ekosistem.



petani dan nelayan pun masih banyak yang melakukan perusakan tanah, air, dan udara akibat rendahnya kesadaran dan tingginya tekanan hidup untuk serba instan.
Populasi manusia semakin meningkat, maka semakin meningkat pula tuntutan pemenuhan kebutuhannya. Namun tidak ada predator alami bagi manusia. Sedikit intermezo nyinyir: Dalam dunia binatang, yang paling beracun biasanya bersifat kanibal. Maka menjadi menarik ketika manusia paling “beracun” memiliki sifat “kanibal” pula. Kini teknologi ciptaan manusia turut berperan dalam peningkatan produksi pangan. Karena dapat meningkatkan produktifitas hasil tanam, benih transgenik adalah salah satu temuan yang dianggap dapat menjadi solusi instan dalam menjawab persoalan perut. Dulu sekali, jauh sebelum benih transgenik ditemukan, benih tanaman dapat berumur ribuan tahun. Pada saat piramida dibangun, berdampingan dengan mumi sang raja ternyata banyak pundi yang menyimpan beragam benih. Setelah ribuan tahun, benih-benih tersebut masih bisa tumbuh. Saat ini umur benih (terutama transgenik) semakin pendek, hanya berkisar mingguan hingga maksimal satu atau dua tahun. Apakah ini yang disebut dengan kemajuan? Yakinkah manusia semakin pintar? Semakin komersil sepertinya berarti semakin pendek umurnya.
Benih merupakan aset paling likuid dan bisa saja menjadi world currency di masa yang akan datang — semoga kita sudah “menyatu dengan alam” ketika ini terjadi. Jika benih bahan pangan punah, begitu pula manusia. Jika ingin bertani, bertanilah sesuai dengan etika dan ikutlah menjaga kualitas tanah, udara, dan air lewat pertanian organik atau alami. Mulailah mengumpulkan dan menyimpan benih pusaka atau heirloom seeds, yakni benih yang secara genetik masih murni dari masa ke masa. Tantangan berat, memang, karena banyak benih pusaka yang sudah punah, dan fenomena ini dianggap hal yang “biasa,” risiko “alami” dari semakin majunya peradaban, dan bukan bagian dari krisis hidup.




Sepertinya umur manusia pun begitu. Kini siapapun bisa terlihat lebih mulus secara instan, namun jangka waktu hidupnya saya tebak tidak akan selama generasi sebelumnya. Apa yang kita makan sangat mempengaruhi kita.
Jika memang umur manusia semakin pendek, maka sebenarnya kita tidak perlu khawatir akan kekurangan makanan, apalagi ditambah dengan “anugerah” bencana alam, peperangan, kecelakaan lalu-lintas, tingginya tingkat bunuh diri akibat tekanan hidup yang semakin bertambah, dan “anugerah-anugerah” lain yang mampu menjamin cukupnya ketersediaan pangan bagi mereka yang “beruntung” dapat hidup agak lama.
Sungguh mengerikan jika ada penelitian yang menyebutkan bahwa semakin canggih teknologi maka harapan hidup manusia semakin panjang. Dengan semakin menurunnya kualitas tanah, air, dan udara, serta umur benih yang semakin pendek, ditambah pula dengan semakin sempitnya lahan berkualitas untuk bercocok tanam, silahkan hitung sendiri kemungkinan kelaparan yang akan menjadi trending topic masa depan, atau bahkan perang berebut makanan dan penggunaan kekerasan yang melibatkan kekuatan koersif untuk mengamankan lumbung-lumbung pangan sehubungan dengan tingkat populasi dunia yang semakin bertambah.

Sebaiknya kita mulai mencetak kalimat dibawah ini sebagai bumper sticker atau spanduk untuk selalu mengingatkan kita agar terhindar dari skenario kelaparan dunia: “Sudahkan Anda bercocok tanam?”
artikel asli dapat dibaca di sini